Sekretariatan Gedung AS Politeknik Negeri Malang (Polinema), Jatimulyo, Kec. Lowokwaru, Kota Malang, Jawa Timur 65141
Telp Humas : 0812-8455-8810
Email : perspolinema@gmail.com
Politeknik Negeri Malang (Polinema) tengah menghadapi isu krusial terkait penurunan akreditasi institusi. Dalam upaya meredakan kekhawatiran mahasiswa, Kementerian Kajian Strategis Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Polinema menyelenggarakan Audiensi Terbuka. Acara ini merupakan tindak lanjut dari Konsolidasi Internal, dilaksanakan pada 12 Agustus 2024 di Auditorium Gedung Teknik Sipil Lantai 8. Audiensi tersebut mengundang pimpinan Polinema, termasuk Direktur, Wakil Direktur 1, Presiden BEM, serta perwakilan dari seluruh elemen jurusan. Tujuannya adalah untuk memberikan kepastian kepada mahasiswa, khususnya mahasiswa akhir yang akan segera lulus terkait isu penurunan akreditasi institusi serta kontroversi pemilihan kelulusan melalui Google Form.
Isu ini berawal dari penurunan akreditasi Polinema dari A pada 2018 menjadi B pada 2023. Padahal, akreditasi merupakan salah satu indikator utama kualitas sebuah institusi pendidikan. Penurunan akreditasi ini memicu keresahan di kalangan mahasiswa, terutama mereka yang akan segera memasuki dunia kerja. Pimpinan Polinema menjelaskan bahwa penurunan ini disebabkan oleh ketidakmampuan institusi untuk memenuhi syarat Instrumen Pemantauan dan Evaluasi Peringkat Akreditasi (IPEPA) yang baru.
Skor maksimal yang dapat dicapai oleh program studi menurut aturan terbaru dari Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi ( BAN-PT) adalah 3.25. Dari skor tersebut, Polinema berhasil mencapai 3.19. Namun, tetap berada di bawah skor IPEPA yang dibutuhkan yaitu 3.25. Meski Polinema telah melakukan berbagai upaya termasuk reakreditasi 10 program studi, di mana terdapat 1 program studi yang naik peringkat hasilnya masih belum cukup untuk mempertahankan akreditasi A. Meskipun begitu, dengan skor 3.19, Polinema tetap terakreditasi yang berarti masih dapat meluluskan mahasiswa, menyelenggarakan wisuda, dan mengeluarkan ijazah sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Pendidikan dan Kebudayaan No. 23 Tahun 2023.
Selain isu akreditasi, kebijakan terkait Uang Kuliah Tunggal (UKT) juga menjadi sorotan dalam audiensi ini. Sebuah postingan Twitter dan Instagram memicu kontroversi di kalangan mahasiswa tingkat akhir. Postingan tersebut memuat keluhan mahasiswa terkait pengisian formulir kelulusan yang menyertakan dua opsi: ‘Bersedia di-setting “LULUS” pada semester genap 2023/2024 dengan akreditasi institusi B’ atau ‘Tidak bersedia di-setting “LULUS” pada semester genap 2023/2024 dan bersedia membayar UKT sebesar 50%’.
Saila, mahasiswa akhir jurusan Akuntansi mengonfirmasikan bahwa kebijakan UKT 50% ini memang benar adanya dan berlaku untuk jurusan Teknik Sipil dan Akuntansi. Ia menilai keputusan ini kurang bijak karena diambil secara sepihak tanpa melibatkan musyawarah dengan semua jurusan. “Keputusan seperti ini kurang bijak. Petinggi hanya memberikan keputusan sepihak. Harapannya, para petinggi bisa melakukan pertemuan antar jurusan dan perwakilan mahasiswa semester akhir sebelum membuat keputusan besar seperti ini,” ujarnya.
Mahasiswa mempertanyakan keabsahan formulir ini, mengingat tidak adanya surat edaran resmi atau informasi jelas dari pihak kampus. Dalam audiensi, Supriatna Adhisuwignjo, ST., MT. selaku Direktur Polinema menegaskan bahwa formulir tersebut tidak dikeluarkan oleh institusi, melainkan muncul karena permintaan dari pihak luar. Supriatna menjelaskan, “Ada seseorang yang merespons, dan membuat form tersebut. Form itu sempat beredar di media sosial dan pada pukul 10 malam saya langsung menghubungi orang tersebut untuk meminta agar form itu dihapus. Sebab, pernyataan dalam form tersebut mengandung kalimat yang bias, yang dapat menimbulkan persepsi yang beragam dan tidak tepat,” ungkapnya.
Keputusan bahwa akreditasi Polinema tetap berada di peringkat B menimbulkan berbagai reaksi di kalangan mahasiswa. Prayogo, mahasiswa akhir jurusan Teknik Elektro, mengungkapkan rasa takut dan resah tentang dampaknya terhadap peluang kerja di masa depan. “Saya merasa takut dan resah bagaimana nanti saat sudah lulus, apakah akan susah mencari pekerjaan. Mungkin ada beberapa perusahaan yang memandang akreditasi kampus,” ujarnya.
Saila juga mengakui bahwa ada perusahaan yang memandang akreditasi kampus. Namun, ia lebih memilih untuk fokus pada pengembangan diri dan keterampilan, mengingat akreditasi program studinya sudah unggul. Sikap ini mencerminkan upaya mahasiswa untuk tetap optimis meski dihadapkan pada penurunan akreditasi institusi.
Meski audiensi ini diadakan untuk memberikan klarifikasi, banyak mahasiswa merasa bahwa acara tersebut belum memberikan solusi konkret. Mahasiswa akhir sangat mengeluhkan soal akreditasi institusi yang bisa menjadi acuan penting dalam proses rekrutmen di dunia kerja. Prayogo menekankan pentingnya penyebaran informasi hasil audiensi kepada seluruh mahasiswa agar kepercayaan terhadap pimpinan dapat meningkat. Ia juga berharap agar kampus memberikan opsi tambahan, seperti sertifikat keahlian, yang dapat membantu lulusan dalam menghadapi tantangan di dunia kerja. “Saya berharap informasi dari audiensi ini bisa disebarluaskan, agar menambah kepercayaan mahasiswa terhadap pimpinan. Selain itu, kampus sebaiknya memberikan opsi seperti sertifikat keahlian untuk membantu lulusan,” katanya.
Pimpinan Polinema akan melakukan perbaikan dan mencari solusi berdasarkan berbagai saran dari mahasiswa. Meskipun perbaikan ini belum tentu sempurna, tetap akan dijadikan bahan evaluasi. Salah satu harapan terbesar mahasiswa adalah adanya komunikasi yang lebih baik dan transparansi dari pihak pimpinan. Prayogo berharap agar ke depan, miskomunikasi antara pimpinan, jurusan, dan mahasiswa dapat dikurangi. Ia juga meminta agar jurusan lebih responsif terhadap pertanyaan mahasiswa agar tidak terjadi kesalahpahaman. Saila menambahkan bahwa setiap keputusan yang mempengaruhi akreditasi sebaiknya disuarakan kepada mahasiswa, tidak hanya dibahas dalam rapat internal pimpinan.
(Yunika Puteri Dwi Antika, Satria Rakhmadani)