Di Malam Itu

Ada bulan pucat di langit,
seperti lampu jalan kehabisan listrik.
Ada burung gagak yang malas,
lebih sibuk mengintip nasi bungkus
daripada mayat di lubang tanah.

Bung,
di radio terdengar lagu perjuangan,
tapi suaranya sumbang,
dan para jenderal yang hilang
tak sempat ikut menyanyi.

Sejarah pun mencatat dengan tergesa,
huruf-hurufnya berdesakan,
hingga salah eja antara “kesaktian”
dan “kesakitan”.

Bung,
jangan terlalu serius.
Malam ini cuma pesta kecil
antara peluru, bayangan, dan propaganda

layaknya tari di atas abu krematorium.

Besok pagi,
kita tetap antre minyak tanah
sembari membawa kaleng kosong,
dan perut lapar seperti biasa.

(Satria Rakhmadani)