Sekretariatan Gedung AS Politeknik Negeri Malang (Polinema), Jatimulyo, Kec. Lowokwaru, Kota Malang, Jawa Timur 65141

Telp Humas : 0812-8455-8810
Email : perspolinema@gmail.com

Bansos: Jaring Pengaman atau Jerat Ketergantungan?

Warga membawa paket bantuan beras dari pemerintah di Temanggung, Jawa Tengah. Bantuan ini menjadi bagian dari
Program Cadangan Pangan Pemerintah (CBP) pada 22 Januari 2024.
(Sumber: ANTARA FOTO/Anis Efizudin)

Bantuan sosial (bansos) seperti Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Langsung Tunai (BLT), dan berbagai program lainnya diciptakan sebagai jaring pengaman bagi masyarakat miskin. Namun dalam praktiknya, bantuan ini tak selalu menjadi jalan keluar, sebagian masyarakat justru terjebak dalam pola ketergantungan. Bukan karena mereka tidak ingin berubah, tapi karena sistem yang belum sempurna dan pola pikir yang sudah terbentuk lama.

Seperti yang dialami Dara (nama samaran), seorang anak muda yang menyaksikan sendiri bagaimana bansos mengikat keluarganya, bukan membebaskan. Ia menilai ketergantungan bantuan sosial di masyarakat berakar dari kemiskinan struktural. “Kemiskinan di Indonesia itu struktural, jadi bansos bukan solusi, malah bikin ketergantungan,” ujarnya. Ia pernah menyaksikan langsung orang di sekitarnya buru-buru ke kantor desa minta didata bansos meski belum waktunya, atau menolak pindah domisili demi mempertahankan bantuan. Bahkan, ada kasus di mana masyarakat menunda memperbarui data kematian agar bansos tetap cair. “Mereka merasa dengan gak kerja tapi dapat bansos adalah jalan mudah dapat duit,” kata Dara. Pengalaman ini membuat Dara prihatin akan masa depan masyarakat yang terjebak ketergantungan.

Masalah ketergantungan ini tidak muncul begitu saja. Ia berakar dari tiga hal: kemiskinan struktural, lemahnya sistem verifikasi bansos, dan pola pikir masyarakat.

Pertama, terkait kemiskinan struktural. Banyak warga miskin kesulitan mendapat pekerjaan karena keterbatasan pendidikan, usia, atau keterampilan. Di tengah kerasnya persaingan kerja, bansos menjadi opsi rasional bagi mereka yang tak punya pilihan lain. Kedua, dari segi teknis: sistem validasi penerima bantuan masih lemah. Kementerian Sosial sendiri mencatat 1,8 juta Keluarga Penerima Manfaat (KPM) dicoret karena tidak memenuhi kriteria. Hal ini menunjukkan adanya banyak inclusion error akibat data yang tak diperbarui atau dimanipulasi. Ketiga, dan yang paling sulit diperbaiki adalah pola pikir masyarakat. Di beberapa lingkungan, bansos bukan lagi dipandang sebagai “bantuan sementara”, melainkan sebagai “penghasilan tetap”. “Beras bantuan bisa buat makan dua minggu dan bisa dijual lagi, orang jadi mikir, ngapain capek kerja?” ujar Dara. Akibatnya, anak-anak pun tumbuh dalam budaya bergantung: di sekolah mereka diajarkan bermimpi tinggi, tapi di rumah diajarkan untuk bertahan dari bantuan yang tak pasti. Menyedihkan.

Pemerintah sebenarnya sudah mulai berbenah. Instruksi Presiden No. 8 Tahun 2025 mendorong pemutakhiran data melalui DTSEN (Data Tunggal Sosial dan Ekonomi Nasional), dan program PENA (Pahlawan Ekonomi Nusantara) dari Kementerian Sosial (Kemensos) telah melahirkan puluhan ribu wirausahawan baru. Namun, pembenahan tersebut belum mampu secara signifikan mengurangi jumlah masyarakat miskin, hanya setitik jika dibandingkan dengan 24 juta masyarakat miskin versi Badan Pusat Statistik (BPS). Meski demikian, perubahan sistem ini tetap langkah yang bagus dari pemerintah, walaupun tidak akan cukup jika tanpa kesadaran dari masyarakat penerima sendiri. Dara menyatakan bahwa sebaiknya pemerintah berinvestasi ke pendidikan gratis. “Biar anak-anak dari keluarga miskin punya tunas baru,” katanya. Namun sayangnya, pemerintah masih cenderung memilih program yang hasilnya instan terlihat, dibanding investasi jangka panjang seperti pendidikan.

Apakah salah jika memberi bantuan? Tentu tidak. Bansos tetap penting, tetapi harus dibingkai ulang sebagai stimulus, bukan sumber utama hidup. Bansos bisa menjadi awal perubahan jika didukung pendidikan, pelatihan kerja, dan kesadaran. Terutama bagi keluarga miskin dengan anak yang banyak, untuk merencanakan masa depan agar tidak terjebak kemiskinan. Untuk itu pemerintah harus memastikan bansos benar-benar menjadi jalan menuju kemandirian, bukan jerat yang menahan masyarakat dalam kemiskinan.

 

(Elsa Tri Meida Ananta)

 

Post View : 110

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *